Tuesday, January 5, 2010

Standar Penilaian Pendidikan (Cerita Pilu di Dunia Nyata)

Standar penilaian pendidikan merupakan syarat-syarat atau kaidah dasar yang ditetapkan oleh pemerintah berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar dalam penilaian prestasi peserta didik oleh gurunya. Hal itu menjadi tolok ukur untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Landasan hukum yang dipakai dalam pembahasan kali ini adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan tentang Standar Penilaian Pendidikan, disebutkan bahwa “Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan”, yang menurut saya sangat rancu karena tidak disebutkan secara tekstual bahwa UN menjadi syarat kelulusan peserta didik, selanjutnya disebutkan pula “Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi”. Lalu buat apa selama ini Kriteria Ketuntasan Belajar ditentukan oleh satuan pendidikan dalam hal ini pihak sekolah, apabila UN menjadi pencapaian Standar Nasional Pendidikan??
Selanjutnya akan saya sebutkan mengenai Prinsip Penilaian yang ada dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang terdiri atas
1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.
2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai
3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.
4. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.
6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.
7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku
8. Keracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan
9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya
Sangat indah bukan prinsip penilaian yang disusun ini sangat mengutamakan prinsip kejujuran dan transparansi penilaian terhadap peserta didik. Pada penyelenggaraan UN, prinsip ini tumbang satu persatu, terutama prinsip no 2, no 6.
Sedikit cerita obrolan saya dengan adik kelas yang bersekolah di sebuah SMA negeri di Bekasi pada tadi siang, dia mengatakan bahwa seorang guru yang mengajar seni, sebut saja ”A” sering melakukan tindakan kolusi dalam pemberian nilai kepada muridnya. Setiap memberikan tugas, ulangan harian apabila ada muridnya yang tidak mengerjakan tugas atau ulangan harian, maka si A ini akan meminta uang sebesar Rp. 5.000,- kepada muridnya sebagai denda karena tidak mengerjakan tugas ataupun ulangan, tetapi si A tetap memberikan nilai kepada muridnya yang hanya membayar denda. Berdasarkan analisa saya, buat apa toh kita mengerjakan tugas, mengikuti ulangan harian bila hanya dengan membayar Rp. 5.000 saja kita sudah mendapat nilai minimal, bagaimana kalau kita memberikan uang lebih (istilah kasarnya uang rokok) agar kita memperoleh nilai maksimal. Prinsip-prinsip penilaian yang saya lampirkan gugurlah semua. Sangat ironi memang, oknum guru seperti itu juga banyak, bahkan di perguruan tinggi pun sudah saya temukan kasus yang serupa. Beberapa mahasiswa dapat mengikuti ujuan akhir praktek hanya dengan membayar beberapa puluh ribu saja. Padahal saya bersusah payah mengikuti praktikum-praktikum hingga malam hari agar memenuhi syarat mengikuti ujian akhir. Toh nilai yang saya dapat juga sama dengan mereka. Nampaknya mafia seperti ini memang perlu diberantas, jangan dibiasakan diambil enaknya saja. Memang mental orang Indonesia perlu dibenahi dan perlu diperbaiki. Mana adat timur yang sopan santun dan kita banggakan????

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com